Wednesday, March 30, 2011

Selalu Cinta -a fanfict story-



gue pengen re-post salah satu cerpen gue yang ancur-ancuran ini. berhubung gue suka ribet kalo mau nyari nama buat cerita gue, gue make nama-nama bocah-bocah di idola cilik. pada tau dong pasti?
kebetulan yang jadi tokoh di cerpen geje kali ini Shilla dan Cakka, karena couple ini nih yang lagi heboh-hebohnya :3
bacot dah, cekidot!

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Selalu Cinta

***

Kamu tanya , aku menjawab

Kamu minta , aku berikan

Kusayangi kamu …

***

Aku kembali terduduk di sini. Di taman ini, taman aku dan dia. Aku tak bisa menghitung bagaimana banyaknya kenangan yang aku dan dia miliki di tempat ini. Taman ini seakan menjadi saksi bisu kisahku dan dia.

Aku memejamkan mataku, menghela nafas sedalam mungkin dan menghembuskannya perlahan. Masih dengan mata terpejam, aku mencoba mengingat kembali kenangan manis antara aku dan dia.

Sore itu, aku berjalan menuju taman. Berlari, tepatnya. Kulirik jam tangan mungil yang melingkar anggun di tangan kiriku, dan mempercepat langkahku. Kulihat dia duduk di bangku taman, memangku gitarnya dan mulai memetik gitar itu perlahan.

“Maaf”, kataku setelah duduk di sampingnya. Ia menoleh, sepertinya baru sadar atas kedatanganku. Senyum terukir di wajahnya, senyum yang selalu kuingat hingga alam bawah sadarku.

“Kamu tuh ya, dari dulu ngaretnya nggak pernah hilang.” katanya, sambil mencubit pipi kananku lembut.

“Aaah”, aku meringis kecil sambil mengusap pipiku yang barusan disentuhnya. Wajahku memanas, aku yakin warnanya pasti semerah tomat. Ah, biar sajalah.

Ia tertawa kecil, lalu mengacak rambutku. Ini salah satu kebiasaannya saat bertemu denganku. Lagi-lagi, aku hanya bisa merengut, dan memajukan bibirku, manyun.

“Ah, berantakan nih” kataku sambil merapikan rambutku yang baru saja diacak.

“Biar berantakan tetep cantik kok. Aku suka” katanya sambil tersenyum padaku. Aku yakin, pipiku yang telah semerah tomat ini telah bertambah tingkat menjadi semerah cabai.

“Oh ya, kenapa telat ?” tanyanya kemudian.

“Aku ketiduran. Hehe” jawabku jujur. Ia tersenyum lagi. Kali ini beda, ia tersenyum geli, seakan menahan tawanya. Ia lalu kembali memetik gitar yang tadi ia hentikan. Petikan yang asal, namun tetap terdengar harmonis di telingaku. Ya, kuakui ia memang dewa dalam bergitar. Dan aku suka itu.

“Kebo” katanya lagi, pelan.

“Heh, ngomong apa? Enak ajaaa!” bantahku sambil mencubit lengannya. Ia tertawa lepas. Ah tawa itu, aku kangen.

“Kamu denger ya? Untunglah, ternyata pacarku nggak budek” Aku memalingkan wajahku darinya, lalu memasang wajah cemberutku. Ah, bodo.

“Yah, ngambek. Maaf deh maaf, becanda sayaaang” bujuknya sambil berlutut di hadapanku. Dasar gombal.

Aku terus memasang wajah manyunku, saat tiba-tiba ia menarik tanganku dan mengajakku berlari. Aku yang kaget harus benar-benar menjaga keseimbanganku agar tak terjatuh konyol di depannya.

“Kka, apa-apaan sih!” teriakku padanya, yang hanya dibalas dengan senyuman.

“Udah, ikut aja bawel” katanya.

Ia lalu membawaku ke ujung taman dan, hey! Aku tak pernah mengunjungi tempat ini sebelumnya. Ini dimana? Dari mana ia tahu tempat ini?

“Tunggu disini bentar ya” katanya lembut sambil melepas genggamannya yang erat dari tanganku, dan berjalan memunggungiku. Aku melihat sekelilingku, ah sepinya tempat ini. Aku takut.

Aku terus menunggunya dengan perasaan tak karuan. Takut, cemas, dan ingin marah semua berkumpul jadi satu dalam benakku. Dia kemana sih? Sudah lebih 20 menit aku disini dan dia tak kunjung kembali.

Lututku bergetar, tak mampu lagi menopang tubuhku. Aku terduduk lemas. Kubiarkan cairan hangat berebut turun dari bola mataku, membentuk aliran sungai kecil di pipiku. Dimana dia? Aku takut sendiri!

Samar-samar kudengar lantunan nada indah dari petikan gitar. Aku menoleh, ternyata ia disana. Kulihat, ia berjalan mendekat ke arahku.

“Kamu kenapa nangis?” tanyanya. Ia melepas gitar yang sejak tadi digenggamnya. Tangannya bergerak menuju pipiku, menghapus anak sungai yang tadi tercipta, lalu menatapku dalam. Ingin rasanya aku membentaknya, memarahinya, tapi ah…entah kenapa bibirku seakan tak searah dengan hatiku.

“Takut” hanya itu yang keluar dari bibirku. Dan kuakui, betapa bodohnya aku. Aku mengutuk diriku habis-habisan. Tentu saja sekarang ia menganggapku cewek penakut yang lemah.

Ia mengusap kepalaku, setelah sebelumnya mengucapkan maaf untukku. Aku masih tak habis pikir, kenapa aku tak bisa marah padanya? Apakah ia mengontrol seluruh jalan pikiranku? Ah, lupakan. Aku tahu aku bodoh.

“Baru aku tinggal bentar aja udah nangis, gimana nanti kalo aku pergi?”

Aku menoleh, “Ah, kamu ngomong apa sih, ga lucu” bantahku. Entahlah, aku merasa ada sesuatu yang mengganjal dari perkataannya barusan.

“Aku serius, nanti kalo aku pergi ninggalin kamu, kamu harus janji ya, kamu akan terus dan tetap tersenyum” katanya lagi.

“Aku ga mau janji, karena kamu ga akan ninggalin aku, kamu ga boleh ninggalin aku” Ia tersenyum, lalu merogoh kantong jaketnya.

“Nih” katanya sambil mengulurkan permen lollipop ke arahku. Aku tersenyum, dan meraih lollipop itu dari tangannya. Langsung saja aku mengemutnya. Manis !

“Eh, aku punya sesuatu buat kamu. Pegangin dulu nih” kataku sambil menyerahkan lollipop yang sedang kuemut padanya. Aku mulai mencari benda yang kemarin kubeli untuknya dalam tasku. Ketemu! “Ini buat kamu. Kemarin kubeli di kios pinggiran jalan, makanya bisa nulis-nulis nama. Maaf ya kalo jelek, aku lagi ga punya du…” ucapanku terhenti seketika saat kulihat ia memasukkan lollipop yang tadi kuhisap ke mulutnya. Hei, itu kan bekas ludahku! Tidak, aku tak jijik. Aku hanya, hmm canggung. Bukankah ini ciuman tak langsung? Iya kan? Ahh..

“Eh, kenapa?” tanyanya dengan paras watados –wajah tanpa dosa-- yang membuatku makin geregetan. Dasar cowok, tak pernah peka dengan hal-hal seperti ini.

“Ini, buat kamu.” kataku, memutuskan mengabaikan peristiwa barusan. Ia mengambil benda itu dari tanganku.

“Makasih sayaaang. Bagus banget nih, aku suka !” katanya senang sambil menatap gantungan kunci bola basket yang betuliskan CS, inisial namaku dan dia. Aku hanya tersenyum, senang ia menyukai pemberianku.

“Aku masih boleh minta sesuatu nggak ?” tanyanya.

“Minta apa lagi? Kan aku udah ngasih itu.” protesku, sambil menunjuk pemberianku tadi. Ia tertawa, lalu mengacak rambutku – lagi --. Ahh ..

“Aku nggak minta macem-macem kok. Aku cuma minta ini” Ia mengecup pipiku lembut, membuatku kaget.

“I love you” bisiknya.

***

Ku bicara, kamu yang diam

Ku mendekat, kamu menghindar

Separah inikah kamu dan aku

***

Aku membuka mataku, membuyarkan ingatanku tentangnya. Sungguh, ingin rasanya aku menangis mengingat itu semua. Tapi kutahan, karena aku tahu, air mataku takkan mengubah apapun.

Aku melirik jam tanganku, lalu mendesah perlahan. Sudah 2 jam aku menunggu disini, namun dia tak kunjung datang. Aku tak menghubunginya, aku ingin menguji seberapa ingatkah ia tentang janjinya. Karena dulu, ia tak pernah melupakan apa saja tentang kami, bahkan hal kecil sekalipun.

Aku mengalihkan pandanganku ke arah langit yang telah berwarna keemasan. Tak ada lagi sinar menyengat pandangan, tersisa awan jingga yang berarak, pertanda senja tiba. Tercipta gradasi warna yang indah di atas sana. Tiba-tiba, bangku yang kududuki bergerak. Aku menoleh, dan kudapati ia duduk di sampingku. Dia diam. Aku juga.

Sekian lama aku dan dia terduduk dalam keheningan, tanpa ada satu pun kata yang terucap. Sungguh, aku tersiksa dengan keadaan ini. Aku kangen dia yang dulu, dia yang bawel, dia yang cerewet, dia yang selalu memanjakanku. Kuputuskan untuk bicara duluan. Aku tak tahan lagi.

“Kenapa telat ?” tanyaku pelan. Kuharap pertanyaan ini bisa mencairkan bongkahan es yang memisahkan aku dan dia selama ini. Kuharap pertanyaan ini bisa mengembalikan dirinya yang dulu. Dirinya yang tak lagi kutemukan selama kurang lebih seminggu ini. Dirinya yang tiba-tiba saja berubah tanpa ku tahu penyebabnya.

“Maaf” katanya. Aku diam, menunggu. Mungkin saja masih ada yang akan ia ucapkan. Tapi, nihil. Ia kembali tenggelam dalam diam setelah mengucap satu kata itu. Jujur saja, aku kecewa. ‘Maaf’ bukanlah jawaban yang aku harapkan. Aku menghela nafas dalam.

“Kamu tahu, seminggu ini aku kesepian. Seakan ada bagian yang hilang dari hidupku.” ungkapku. Aku menoleh padanya, namun tak ada respon, ia tetap tenggelam dalam keheningan.

“Hidupku seakan hampa, nggak ada lagi warna di dalamnya. Aku sendiri nggak ngerti, gimana bisa diriku yang sesungguhnya hilang bagai ditelan bumi hanya karena nggak ada kamu? Maksudku, kamu emang ada, ragamu memang selalu kulihat, tapi hatimu hilang. Dalam jarak sedekat ini pun aku tetap nggak bisa merasakan kehadiran hatimu di tempat ini. Aku nggak tahu dimana harus mencarinya, aku benar-benar nggak tahu. Mungkin hatimu udah berkelana ke tempat lain, mencari hati lain untuk tempat persinggahannya. Atau mungkin, hatimu telah benar-benar menemukan hati yang lain, yang jauh lebih baik dariku.” Aku berhenti sejenak. Mencoba memerintahkan otakku agar tak memproduksi kelenjar air mata saat ini. Mataku benar-benar telah menghangat, dan pandanganku mulai kabur, pertanda bulir-bulir air mata telah bersiap untuk berebut turun. Tidak, aku tak boleh menangis, setidaknya untuk saat ini. Aku tak boleh terlihat lemah di depannya. Aku cewek kuat, aku kuat.

“Aku tahu, seluruh perkataanku mungkin nggak ada artinya bagimu. Mungkin kamu nggak peduli apa yang berkecamuk dalam benakku saat ini. Tapi kamu harus tahu, bagaimanapun perlakuanmu padaku, hatiku tetap akan jadi milik kamu. Kamu nggak akan terganti. Kamu tetap menempati ruang terbesar dalam hatiku.”

Seakan tak peduli dengan semua perkataanku, dia tetap diam. Sungguh, aku tak mengerti lagi apa yang harus kulakukan agar ia bicara. Aku rela menukar apapun yang kumiliki agar ku bisa mendengar desahan suaranya. Aku rela.

Aku dan dia kembali tenggelam dalam keheningan. Kalau memang dia nyaman dengan keadaan ini, baiklah, aku akan diam. Aku tak akan bersuara. Akan kuturuti kemauannya.

“Udah? Aku mau pulang.” akhirnya, aku bisa mendengar suaranya. Sayangnya, rangkaian kata yang terucap dari bibirnya tak sesuai dengan harapanku. Rangkaian kata darinya bagai ribuan jarum yang menancap tepat di hatiku. Tanpa menunggu jawaban dariku, ia berdiri. Mendekati motor Ninja hijau miliknya yang berdiri kokoh di samping taman. Kulihat, ia telah terduduk gagah di atas motor kesayangannya itu.

“Tunggu !” teriakku saat ia hampir memacu motornya, sambil berlari ke arahnya.

Aku mendekat, tapi… BRRUMM ! Ia menghindar. Motornya melesat bagai angin, dan membuatku hanya bisa terpana.

Ya Tuhan, separah inikah aku dan dia?

***

Bagaimana bisa, aku tak ada

Di setiapmu melihat

Sementara ku ada

***

“Shil, gue pulang dulu ya.” kata Sivia, sahabatku. Aku tersenyum, lalu menganggukkan kepalaku.

“Iya, cepetan sana, sang pangeran udah nungguin tuh” ledekku, sambil menunjuk-nunjuk pacar sahabatku ini, Gabriel. Yang ditunjuk hanya nyengir kuda ga jelas. Sivia melangkah memunggungiku, namun saat langkahnya yang ketujuh ia berbalik ke arahku. Aku hanya bisa mengernyitkan dahi menyatakan keherananku.

“Kenapa, Vi ?” tanyaku.

“Lo nggak apa-apa kan gue tinggal ?” tanyanya, dengan tatapan cemas. Aduh, plis deh Vi, aku bukan anak kecil lagi.

Aku terkekeh pelan, “Gue nggak apa-apa kali Vi, nyantai aja deh.”

“Lo pulang sendiri lagi ?” Aku mendesah pelan, Via menatapku iba.

“Menurut lo ?” kataku, sambil tersenyum miris.

“Aduh, gue lama-lama makin nggak ngerti deh. Sebenarnya gimana sih status hubungan lo sekarang ini sama si Ca…”

“Gantung” jawabku, langsung memotong ocehan Via. Sudahlah, aku sedang tak berniat membahas soal ini.

“Sabar ya Shillaku sayaang” Via mengusap pipiku. Aku tersenyum.

“Ikut gue ke parkiran yuk, kasian si Iel udah nunggu lama. Lagian sopir lo jemputnya di parkiran kan ? “ Tanya Sivia. Aku menggeleng.

“Gue ga dijemput, naik taksi aja“ bantahku.

“Ya tetep aja lo harus nemenin gue ke parkiran. Taksi kan adanya di parkiran doang. Wooo” Sivia mencibirku. Terpaksa, aku mengikutinya dengan dongkol. Yah, jadi obat nyamuk gratisan lagi nih. Asal tau aja, Sivia kalo udah sama Gabriel bisa lupa dunia.

Aku dan Sivia berjalan beriringan menuju parkiran sekolah kami, dan terbukti, aku benar-benar menjadi ‘kacang’ dan ‘obat nyamuk’-nya Sivia dan Gabriel. Daripada bengong, kuputuskan untuk meraih HPku, dan segera mengutak-atiknya.

“CAKKA !” aku segera menoleh saat Sivia dan Gabriel bersamaan meneriakkan nama tersebut. Nama yang setiap malam kusebut, kuingat, dan kutangisi karena perubahannya. Tanpa sadar, aku menunduk saat mataku dan matanya menyatu. Jujur saja, aku tak menemukan apapun di matanya indahnya. Tak seperti dulu, matanya selalu menatapku penuh sayang.

Derap langkahnya semakin terdengar, pertanda ia makin mendekat. Aku meremas tanganku yang kini telah basah dengan keringat, dan telah sedingin es. Semoga saja ini bisa meredakan detak jantungku yang seakan meronta ingin keluar dari tempatnya. Mungkin orang yang berjarak 1km dariku pun masih bisa mendengar detak jantungku ini.

“Hei Yel, hei Vi” sapanya pada Sivia dan Gabriel. Hei, bagaimana denganku ? Apakah aku invisible sehingga ia tak bisa menyadari kehadiranku saat ini ?

“Yap, hei juga. Shillanya nggak disapa nih?” Ah, Sivia bodoooh ! Apa-apaan sih dia? Kenapa bawa-bawa namaku segala? Aku tak mau ia berpikir aku membutuhkan sapaan darinya, walaupun sebenarnya memang itu kenyataannya.

Cakka sepertinya mengabaikan perkataan Sivia barusan, terlihat dari mimik wajahnya yang cuek. Atau sok cuek? Entahlah, kesimpulannya dia enggan menyapaku. Jangankan menyapa, menatapku saja tak ia lakukan.

“Ada perlu apa ya manggil gue ?” tanyanya. Sivia dan Gabriel hanya saling tatap, lalu akhirnya mengangkat bahu, saling menyalahkan.

“Ga penting ternyata. Gue duluan ya” katanya, lalu segera berlalu dari hadapan kami. Ia lewat di hadapanku bagaikan aku tak tampak di matanya, tak sedikitpun pandangannya ia tujukan padaku.

Aku terus menatapnya, hingga tubuhnya hilang bersamaan dengan melajunya motor Ninja miliknya. Aku tak tahu, namun yang pasti ada desiran aneh dalam dadaku saat ini. Aku merasa, ini kali terakhir aku bisa melihat dirinya, melihat sosoknya. Ah, semoga ini hanya perasaanku saja.

“Sabar ya Shil” kata Sivia lembut. Ia lalu mengusap punggungku perlahan, membantuku sedikit meredakan perih yang baru saja tercipta.

“I’m okay Vi. Trust me” kataku akhirnya. Lagi-lagi, aku membohongi diriku sendiri. Bagaimana bisa aku baik-baik saja saat orang yang sangat berarti di hidupku tak menganggapku ada?

***

Bagaimana bisa, kamu lupakan

Yang tak mungkin dilupakan

Aku selalu cinta, selalu cinta

***

Malam ini, lagi-lagi mataku tak bisa kuperintahkan untuk terpejam. Insomnia yang akhir-akhir ini menyerangku sepertinya kembali menghampiriku malam ini. Sebenarnya aku tak yakin hanya insomnia sialan itu saja yang menjadi penyebab susah tidurku saat ini, ada hal lain yang jauh lebih penting yang membuatku enggan menuju alam mimpi. Ya, Cakka-lah hal lain itu.

Kulirik jam yang melekat di tembok pink kamarku, yang membuatku menahan nafas. Kupejamkan mataku rapat-rapat. 5… 4… 3… 2… 1 .

Bersamaan itu pula terdengar alunan suaranya dari HPku. Lagu One Time-nya Justin Bieber yang ia nyanyikan memang kugunakan sebagai nada alarm Anniversary aku dan dia. Lagu yang ia nyanyikan di depanku saat anniversary kami yang ke 1 tahun, 2 bulan lalu. Lagu itu saat ini terasa begitu menusuk relung hatiku, kata demi kata yang terdengar seakan menambah perih di sini. Di hatiku.

Hari ini, 9 November 2010 tepat 14 bulan hubunganku dan dia berjalan. Ya, aku dan dia memutuskan untuk membentuk suatu hubungan di tanggal 09-09-2009. Tanggal yang bagus bukan? Asal tahu saja, banyak yang iri karena aku dan dia memiliki tanggal ini. Namun sayangnya, good date doesn’t change anything. Toh, hubunganku dan dia tak semulus tanggal cantik itu.

Kutatap HPku yang ada di genggamanku dalam, merelaksasikan seluruh pikiranku dari harapan-harapan yang berkecamuk dalam otakku saat ini. Bodohnya aku, aku tetap saja tak bisa berhenti berharap agar dia menghubungiku saat ini, sekedar mengucapkan ‘happy anniversary’ untukku.

Tiba-tiba benda mungil itu bergetar, menandakan sebuah pesan masuk menghampiri inbox-ku. Aku memekik kecil, ya Tuhan semoga pesan ini darinya. Semoga harapanku tak hanya menguap sia-sia. Kubaca pesan itu dan...

From : Sivia =)

Happy anniv shilla !

Hope everything will be better ;*

14 months , that’s a long time .

congrats !Keep smile please * Via =)


Aku mendesah, ah ternyata Sivia. Bodohnya aku terlalu berharap padanya. Orang gila pun mungkin tahu, tak akan ada ucapannya untukku. Tak seperti bulan lalu, yang ia menelponku dari jam 12 malam hingga 5 subuh, apalagi seperti 2 bulan lalu, yang ia sampai memanjat balkon kamarku dan ‘menculikku’ ke taman tepat jam 12 malam hanya untuk memberiku surprise. Tidak, kejadian itu tak akan terjadi saat ini, mungkin hingga seterusnya.

2 jam aku tetap tak bisa memerintahkan mataku untuk menutup, malah cairan hangat yang meronta keluar dari dalamnya, tanpa kuminta. Kubiarkan itu, kuharap semua goresan perih di hati ini akan ikut keluar dari tubuhku bersama dengan air mata yang mengalir tak kunjung henti. Tapi, selama apapun aku menangis, takkan ada yang berubah. Harapanku tetap takkan terwujud, takkan ada ucapan mesra darinya saat ini.

Aku tak habis pikir, bagaimana bisa ia melupakan ini? Bagaimana bisa ia melupakan sesuatu yang harusnya telah menempel erat di otaknya? Bagaimana bisa ia melupakan yang tak mungkin dilupakan?

“Happy anniversary” ucapku, memecah keheningan dalam derai tangis.

***

Kamu hilang, aku menghilang

Semua hilang, yang tak terkira

Jangan tanya lagiTanya mengapa …

***

Kau tahu rasanya ditinggalkan? Kau tahu rasanya disakiti? Kau tahu rasanya dilupakan? Jika tidak, tanyakan padaku. Karena itulah yang sedang kurasakan saat ini. Orang yang kusayangi, kucintai dan begitu berarti di hidupku kini menghilang. Tanpa jejak. Perih yang tercipta di hatiku kini benar-benar bertambah, mengikis seluruh permukaan hatiku dan menancap tepat di bagian dalamnya. Aku bahkan tak tahu ungkapan apa yang pantas untuk hubunganku dan dia. Masih ‘in a relationship’-kah ? Tapi aku tak lagi berkomunikasi dengannya, dan benar-benar lost contact saat dia menghilang, 3 hari lalu. Atau kami sudah tak memiliki hubungan apa-apa lagi? Namun tak pernah tercipta kata berpisah antara aku dan dia, dan aku juga tak pernah berharap perpisahan itu terjadi antara kami.

Kalau saja aku bisa memilih, aku lebih memilih dia membenciku, asalkan ia tetap hadir di hadapanku, dibandingkan dengan kondisi seperti ini. Aku bahkan tak tahu ia dimana, sedang apa, apakah ia baik-baik saja, apakah ia merindukanku seperti aku merindukannya saat ini. Ya, mungkin kalian menganggapku cewek yang bodoh, yang bahkan tak tahu apa-apa tentang pacarku sendiri. Tapi mau bagaimana lagi? Ia bahkan sudah tak pernah menganggapku ada, ia tak pernah lagi bercerita tentang dirinya padaku seperti dulu.

3 hari sudah ia menghilang, dan selama 3 hari pula aku terus mencarinya. Semua orang yang kenal akan sosok dirinya telah kutanyakan keberadaannya, namun seluruh jawaban mereka menyiratkan arti yang sama. Hanya gelengan kepala, ucapan ‘gue ga tau’, dan posisi bungkam yang terus aku terima. Putus asa? Ya, harusnya seperti itu, harusnya aku telah putus asa dan berhenti mencari, berhenti membuang waktuku. Tapi aku tak seperti itu, aku tak mau mengecewakannya, aku tak akan menyerah sebelum kutemukan dimana sosoknya berada saat ini.

Dan kau tahu apa anggapan orang lain akan keputusanku? Mereka malah memintaku untuk berhenti mencarinya. Alasan mereka sama, khawatir akan diriku yang langsung drop sejak kepergiannya.

Mereka bilang badanku semakin kurus, mataku bertambah cekung yang dibingkai dengan lingkaran hitam di bawahnya, wajahku terus terlihat pucat dengan bibir yang semakin pudar kecerahannya, namun tak kupedulikan itu. Yang terpenting hanya satu, dia kembali, bagaimanapun caranya.

*

Jam telah menunjukkan pukul 08.47, tapi aku tak beranjak dari tempat tidurku. Aku dilarang ke sekolah oleh kedua orang tuaku karena kondisiku yang tak memungkinkan. Aku jatuh sakit, dan kau tahu apa penyebabnya? Ya, tentu saja, siapa lagi kalau bukan Cakka?

Aku memilih untuk mengasingkan diri sementara ke villaku yang letaknya cukup jauh dari rumah, kuharap bisa membantu menenangkan pikiranku juga hatiku yang masih tertancap rasa perih. Sudah 4 hari aku disini, dan aku mulai bisa menenangkan diriku walaupun hanya sedikit.

Aku beranjak dari tempat tidurku, dan bergegas menuju kamar mandi, membasahi seluruh tubuhku dan berharap semoga bebanku ikut mengalir keluar dari tubuhku bersama air-air itu. Tak sampai 30 menit aku telah siap dengan pakaian yang biasa kugunakan saat jalan santai mengelilingi kompleks perumahan dekat sini, kegiatan yang selama 3 hari ini aku lakukan, sekedar untuk melepaskan penat.

Sekitar 15 menit sudah aku berjalan mengikuti arah kakiku, dan hmm ini dimana ya? Entahlah, aku sepertinya pernah ke tempat ini, tapi soal kapan, aku tak tahu. Ah, bodo amatlah. Aku lalu melanjutkan langkah kakiku yang terhenti, saat tiba-tiba kulihat seseorang yang begitu familiar di mataku. Dia menyerupai sosok Cakka, namun terlihat lebih dewasa. Dia Alvin, kakak Cakka.

“Kak Alvin !” aku menutup mataku, menanti respon yang akan kuterima, takutnya salah orang. Kalau salah, aku tak tahu bagaimana malunya aku.

“Shilla” aku membuka mata, bersyukur mendengar respon itu. Aku berlari kecil menghampiri Kak Alvin.

“Cakka mana, Kak ?” tanyaku langsung. Aku sedang tak ingin berbasa-basi saat ini. Kak Alvin pasti tahu dimana Cakka sekarang, Kak Alvin benar-benar orang yang tepat untuk kutanyakan.

Kak Alvin terdiam, bisa kubaca ada gurat kesedihan yang tersirat di matanya. Ia menghela nafas perlahan.

“Lo ikut gue sekarang Shil” katanya, lalu langsung menarik tanganku dan menuntunku kearah motornya.

“Kemana, Kak ?”

“Cakka butuh lo” jawabnya, yang langsung menumbuhkan ribuan tanda tanya di benakku.

*

Tanganku terangkat menutupi mulutku yang refleks terbuka, lututku lemas pertanda tak mampu lagi menopang tubuhku, bulir-bulir air hangat telah meronta keluar dari mataku. Aku benar-benar tak percaya dengan apa yang tersaji di hadapanku. Cakka, orang yang begitu berarti dalam hidupku, orang yang selalu terlihat kuat di hadapanku, kini terbaring tak berdaya di atas ranjang putih, dengan berbagai alat yang tak kutahu apa namanya menghiasi beberapa anggota tubuhnya. Ya Tuhan, ini mimpi kan? Tolong jawab bahwa ini mimpi, dan kuharap saat ku terbangun nanti ia tetap di sisiku dengan kondisinya yang sempurna.

Aku melangkah perlahan ke arah kamar tempat ia dirawat, lalu duduk tepat di samping ranjangnya. Kuraih tangannya yang begitu dingin dan kugenggam seerat mungkin, berusaha mentransfer sedikit rasa hangat dari telapak tanganku. Aku mengusap pipinya, membelai rambutnya sambil terus diiringi oleh meluncurnya air mata di kedua pipiku.

“Kak, Cakka kenapa? Kenapa dia bisa seperti ini? Cakka sakit apa kak?” tanyaku pada Kak Alvin. Ia diam, tak bergeming.

“Jawab aku kak! CAKKA KENAPA?!” aku mulai meronta, menuntut jawaban atas keadaan ini.

“Cakka sakit, leukemia, kanker darah” aku terdiam, tak menyangka penyakit itu menyerang Cakka, sosok yang begitu kuat di hadapanku. Ya, kuakui akhir-akhir ini berat badannya menyusut. Ia juga sering terlihat memegangi kepalanya yang kutahu pasti sakit, namun ia tak pernah mengakui itu padaku. Ia juga semakin jarang bermain basket, karena kondisi tubuhnya yang melemah.

“Tapi masih bisa disembuhin kan kak? Dia masih bisa bangun lagi kan kak?” tanyaku dalam isak tangis. Punggung tangan Cakka kini telah basah dengan air mataku. Kak Alvin menggeleng samar.

“Stadium akhir, Shil. Tim dokter sudah menyerah. Ia masih bisa hidup seperti ini pun karena bantuan alat-alat itu. Kalau alat-alat itu dilepas, dia pasti sudah..hmm..dia pasti...”

Tanpa perlu lanjutannya aku sudah tahu pasti apa yang akan Kak Alvin ucapkan, aku tahu. Aku kembali terisak, bahkan lebih dari tadi. Semakin kueratkan genggaman tanganku di tangan Cakka, aku tak rela melepasnya.

“Dokter sedang berunding, meminta persetujuan semua pihak untuk melepaskan semua alat bantu yang melekat di tubuh Cakka, karena menurut mereka, ga ada harapan lagi bagi Cakka. Walaupun berat, semua keluarga udah setuju, karena kami ga mau ngeliat Cakka terus tersiksa dengan status hidupnya yang ga menentu. Hanya satu orang yang belum kami tanyakan. Dia memang ga termasuk di keluarga kami, tapi kami tahu dia sangat berarti bagi Cakka. Dan orang itu lo Shil. Apa lo bersedia dokter melepas semua alat bantu itu?”

Aku terdiam. Kubiarkan otakku bekerja dan berpikir mancari jalan terbaik apa yang harus kutempuh. Aku memang tak mau melihat kondisi Cakka yang tak menentu seperti ini, tapi di sisi lain aku juga tak mau Cakka pergi. Ya Tuhan, jalan apa yang harus ku pilih ?

“Ikuti kata hati lo Shil, jangan peduliin tekanan dari luar. Kalo memang lo ga bersedia, kami akan meneri…”

“Lepasin semuanya Kak. Aku bersedia”

*

Dear my beloved Princess, Ashilla Zahrantiara

Kamu sayang aku? Kalau ya, berjanjilah kamu ga akan membiarkan air matamu mengalir saat aku pergi.

Maafin aku, kalau akhir-akhir ini aku bertingkah keterlaluan padamu

Maafin aku kalau aku ngecewain kamu

Maafin aku karena aku ga bisa menjaga kamu

Maafin aku kalau aku membuat mata indahmu memproduksi bulir-bulir air mata

Kamu tahu alasan kenapa aku ngejauhin kamu akhir-akhir ini ?

Itu karena aku ga mau kamu tahu apa yang terjadi padaku

Aku ga mau kamu tahu akan penyakit ganas yang kini bersarang dalam tubuhku

Aku tahu , aku terlalu kasar padamu

Tapi kulakukan itu, bukan karena kemauanku

Aku hanya ingin kamu benci aku

Aku hanya ingin kamu marah padaku

Agar saat aku pergi, takkan ada tangisan darimu untukku

Agar saat aku pergi, kamu melepasku dengan senyuman indahmu

Terima kasih atas semua yang kamu berikan untukku

Terima kasih atas segala kenangan indah yang aku lalui bersamamu

Terima kasih karena kamu telah mengajarkan aku arti cinta sesungguhnya

Terima kasih atas senyumanmu yang terus terbayang di benakku hingga saat ini

Kamu harus janji, setelah kepergianku kamu akan kembali tersenyum

Kamu harus janji, akan mencari sosok penggantiku yang jauh lebih baik dariku

Kamu harus janji, kamu ga akan terpuruk karena kepergianku

Kamu harus janji, akan terus menata hidupmu saat aku tak ada di sampingmu

I love you, now, and forever

With love,

Cakka Kawekas Nuraga

Air mataku langsung terjun dengan sempurna setelah membaca lembaran surat itu, benda terakhir darinya untukku. Kini, tak ada lagi sosoknya yang begitu berarti bagiku. Tak ada lagi suaranya, tak ada lagi sentuhannya. Raganya mungkin telah pergi, tapi satu hal yang pasti, dia tetap di sini, di hatiku.

Selamat jalan, selamat menempuh kehidupan baru di atas sana. Tunggu aku, saat waktuku tiba, aku kan menemanimu dan tersenyum bersamamu. Aku cinta kamu, aku selalu cinta kamu.

***

Finished on Sunday , November , 21th 2010

On 12:55 WITA



krik~

apa? jelek? emang -_-

hihi, bodo

No comments:

Post a Comment